madya indonesia

Posted in Tulisan Madya by Aralee Niken on November 29, 2009

setelah datang ke lokasi site Mardiwuto JL.C.Simanjuntak,, kami menemukan bahwa site ini adalah salah satu lahan hijau yang ada di kota. banyak sekali pohon pohon berumur nyaris atau bahkan mungkin lebih dari 100th. akar-akarnya yang besar, kekar, dan kuat sangat maskulin menghujam kedalam tanah. hal ini rupanya yang tetap menjaga air tanah daerah sekitar tetap ada dan berkualitas baik.

(atas) salah satu pohon perindang di depan satu bangungan BCB yang akan di bongkar.
melihat gambar diatas, bagi kami sangat menyejukkan hati. bayangkan loji itu sebagai hunian.
dengan kursi dan meja kecil di teras. kita berkumpul dan menyeduh kopi bersama.
rumput di sekitar menjadi hijau.

wow.
ini ditengah kota.

(atas) salah satu gugusan pepohonan rindang.
(bawah) beberapa meter ke timur dari pohon tadi, berbatasan dengan rumah sakit secara langsung.

(atas) pohon yang ini paling dekat dengan jalan. sepertinya ini yang paling besar.

(atas) gedung dibelakang pohon ini adalah SMA N 6 Yogyakarta.

pohon pohon ini sesegera mungkin akan diluluh lantahkan demi pembangunan sebuah pusat pertokoan.
sebuah PERTOKOAN DR. YAP.

jika tidak berbuat sesuatu dengan segera untuk menyelamatkan pohon-pohon ini,
kami rasa, tidak akan ada lagi kebanggaan menjadi warga jogja yang cinta dengan lingkungan.

Pohon adalah sumber kehidupan.
Ia menyimpan air, menjadi peneduh, dan menghasilkan udara yang bersih bagi pecintanya.

Tuhan, Selamatkan Pohon Kami.

Niken Pamikatsih untuk MADYA
(Masyarakat Advokasi Warisan Budaya)
mohon meminta ijin jika akan repost 🙂

-0-

Saatnya Arkeolog Unjuk Gigi dalam Pembangunan Kota

Posted in sharing berita by Aralee Niken on November 17, 2009

SABTU, 14 NOVEMBER 2009 | 15:43 WIB

DISKUSI Kota Tua Batavia (maksudnya Kota Tua Jakarta) yang digelar Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Arkeologi Nasional (Arkenas) kelar sudah. Rekomendasi lengkap, dari sisi arkeologi , dalam hal revitalisasi Kota Tua belum selesai disusun. Seperti yang dihadirkan fakta di lapangan yang begitu gamblang, peran arkeologi dalam pembangunan kota termasuk di dalamnya program revitalisasi kawasan Kota Tua begitu minim. Padahal, Jakarta tak kekurangan arkeolog.

Boleh jadi, perbedaan antara diskusi yang digagas Puslitbang Arkenas dan seminar atau diskusi tentang Kota Tua lainnya yang sudah sering dibikin adalah bahwa kali ini diskusi tentang Kota Tua berpijak dari kaca mata arkeologi. Jadi arkeolog adalah tuan rumah yang mengundang pembicara dari bidang lain untuk berdiskusi. Biasanya, arkeolog hanya sebagai pembicara di “rumah orang”.

Ada sedikit harapan, para arkeolog baik dari Puslitbang Arkenas maupun para pembicara bakal unjuk gigi dengan sebuah rekomendasi yang memasukkan kepentingan arkeologis dalam pembangunan kota.

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta  Arie Budhiman dalam makalah Pengelolaan Kawasan Heritage Kota Tua Jakarta yang dibacakan Kepala Unit Pengelola Teknis (UPT)  Kota Tua Candrian Attahiyyat mengakui, “Mungkin kekurangan kami dalam merencanakan pengembangan adalah belum memasukkan kepentingan yang bersifat arkeologis.”  Arie memberi contoh, rencana pembangunan MRT yang melintas di bawah tanah di kawasan Kota Tua yang belum dapat diantisipasi secara konseptual.

Demikian pula dengan lahan kosong di Kota Tua akibat bangunan roboh yang di saat perencanaan pengembangan atas lahan itu akan dibikin, kondisinya sudah dalam keadaan kosong. “Pengembangan di atas lahan kosong perlu diatur dan pengembang wajib membiayai ekskavasi arkeologi di atas tanah kosong itu bila akan meminta rekomendasi IMB,” demikian ditegaskan Arie.

Persoalan beban berat lalulintas terhadap bangunan cagar budaya, juga memerlukan masukan dari arkeolog tentang perlunya ruas jalan yang ditutup. Rekomendasi para arkeolog akan dibawa dalam  pembahasan pengaturan perubahan jalur di tingkat  dinas. Arkeolog  juga ditantang untuk mendesak terbitnya aturan tentang utilitas bawah tanah, agar kejadian seperti pembangunan Terowongan Penyeberangan Orang (TPO) di Stasiun Beos hingga depan gedung Museum Bank Mandiri yang merusak artefak tidak terulang.

Pekerjaan pembangunan TPO kala itu terpaksa melibas temuan struktur bangunan di bawah tanah dan hanya ada proses dokumentasi tanpa penelitian lebih lanjut. Pembangunan jalan terus tanpa ada yang mampu menghentikan untuk keperluan penelitian arkeologi. Semoga para arkeolog tak terjebak dalam  pemikiran akademis yang seringkali bertepuk sebelah tangan dalam urusan praktik di lapangan.
WARTA KOTA Pradaningrum Mijarto

Posted in sharing berita by Aralee Niken on November 17, 2009

Melestarikan Nilai Budaya Lewat Sastra Klasik

RABU, 11 NOVEMBER 2009 | 12:32 WIB

SEPERTI ikan melihat umpan, orang berduyun-duyun pergi ke Pasar Malam Rakutenci. Umpan dimakan, langit-langit tersangkut, diangkat orang ke atas… mati. Semua orang kelihatan gembira, tetapi baju mereka kelihatan tipis-tipis dan pudar. Mereka berjalan tergesa-gesa seperti pemuda pergi ke rumah tunangannya. Pada tonggak pintu gerbang tertulis dengan huruf besar-besar seperti pada tugu peringatan: Dengan bantuan Sendenbu…

Begitulah Abdullah Idrus atau biasa disebut Idrus saja, pengarang klasik Indonesia, menggambarkan suasana pasar malam di Prinsenpark pada masa Jepang. Rakutenci yang lebih dikenal dengan nama Prinsenpark alias Lokasari (di masa kini) memang selalu jadi tempat hiburan. Pada masa Jepang, dunia perfilman Indonesia mati karena semua perusahaan film ditutup. Film hanya digunakan untuk propaganda. Seniman film pun kembali ke akar, tonil atau sandiwara yang naskahnya disensor ketat oleh Sendenbu (Badan Propaganda).

Petikan cerpen di atas diambil dari buku cerpen berjudul ‘Pasar Malam Zaman Jepang’ dari buku  Dari Ave Maria Ke Jalan Lain ke Roma yang terbit pertama kali tahun 1948 di bawah bendera Balai Pustaka. Buku itu adalah satu dari delapan karya sastra klasik seri Indonesia Cultural Heritage edisi premium, hanya dicetak sebanyak 3.000 paket seharga Rp 2.150.000/paket.

Tujuh karya sastra klasik lainnya adalah Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920); Salah Pilih (Nur Sutan Iskandar, 1928); Sitti Nurbaya (Marah Rusli, 1920); Layar Terkembang (St Takdir Alisjahbana, 1936); Atheis (Achdiat K Mihardja, 1949); Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928); Habis Gelap Terbitlah Terang (RA Kartini) terjemahan Armijn Pane (1938). Penerbitan buku klasik ini tak lain dalam rangka pelestarian budaya, terlebih nilai budaya.

Kiprah Balai Pustaka dan perjalanan sastra klasik Indonesia, dimulai awal abad 20. Karya sastra yang biasanya muncul dalam nada antipenjajahan itu sudah sering terbit di surat kabar dan majalah. Kebanyakan adalah karya sastra orang-orang Tionghoa peranakan yang ditulis dalam bahasa Melayu Tionghoa dan Melayu Pasar atau disebut Melayu Rendah. Pemerintah Hindia Belanda menilai tulisan yang beredar di media cetak itu tak lain hanyalah bacaan liar yang berbahasa rendah dan bertentangan dengan politik kolonial.

Melihat kenyataan ini, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk menerbitkan bacaan yang layak bagi kaum pribumi. Berdasarkan keputusan Departement van Onderwijs en Eeredienst No 12, maka pada 14 September 1908 dibentuklah Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat – KBR). Komisi ini beranggotakan enam orang dengan ketua G A J Hazeu dan bertugas memilih bacaan yang sesuai untuk rakyat Hindia Belanda.

Dari hanya menerbitkan bacaan ringan, KBR berkembang dengan menyediakan buku cerita rakyat, hikayat, dongeng, hingga buku-buku terjemahan novel berbahasa Belanda, Inggris, Perancis, Jerman, juga Arab. Buku-buku tentang Islam seperti Masdjid dan Makam Doenia Islam pun diterbitkan KBR.

Terbitnya novel-novel barat dalam bahasa Melayu punya pengaruh besar pada penulis pribumi. Alhasil karya-karya lokal mulai menggunakan gaya penulisan barat. Salah satu roman yang menonjol saat itu adalah roman Sunda berjudul Baroeang Ka Noe Ngararo (Racun Bagi Kaum Muda) karya D K Ardiwinata tahun 1914. Setelah itu berbagai buku tentang ketrampilan, pertanian, tanaman, teknik, pendidikan, dan kesehatan pun muncul.

Semua buku terbitan KBR menggunakan bahasa baku yang menggunakan ejaan van Ophuijsen (perancang ejaan bahasa Melayu tahun 1901). Bahasa itulah yang digunakan di sekolah Melayu dan dianggap sebagai bahasa Melayu Tinggi karena tata bahasanya ditetapkan oleh para ahli bahasa.

Ketika jumlah penerbitan makin membengkak, dan perlu tambahan sumber daya manusia, pemerintah Belanda kemudian mengembangkan KBR menjadi institusi tersendiri. Maka keluarkah keputusan No 63 tanggal 22 September 1917 tentang Pembentukan Kantoor voor de Volkslectuur yang dipimpin oleh Hoofdambtenaar, seorang kepala kantor, bernama DA Rinkes. Lembaga inilah yang kemudian kita kenal sebagai Balai Poestaka. Dalam enam tahun pertama, KBR sudah menerbitkan 153 judul buku. (WIK/PRA)

http://www.kompas.com/readkotatua/xml/2009/11/11/12324597/Melestarikan.Nilai.Budaya.Lewat.Sastra.Klasik

Posted in sharing berita by Aralee Niken on November 17, 2009

Contoh Kasus – Kasus Pengelolaan Warisan Budaya di Tanah Air

Juni 2009

(dari milis MADYA, AdvokasiWarisanBudaya@yahoogroups.com)

No Kasus Situs/ Kawasan/ Benda Motif(perusakan/pencurian/ pemalsuan/dll) Kategori Wilayah/ tempat Waktu

 

(mm/dd/yy)

Korban Pelaku Keterangan (kondisi awal dan setelah eksekusi/ Dasar hukum –pijakan kegiatan/pihak yang terlibat, baik yang mendukung, ataupun menolak/tujuan kegiatan/dll)
1. Gedung TuaCirebon Alih fungsi bangunan Bangunan Bersejarah Jawa Barat –/–/1998 Negara –  Walikota Cirebon 1988-1998 Markas Komando Resor Militer (Korem) 063 Gunung Jati di Jalan Karanggetas, yang berubah menjadi Toko Serba Ada (Toserba) Yogya;

 

Markas Polisi Militer di Jalan Siliwangi, yang sekarang menjadi Toserba Asia;

Gedung Bank Rakyat Indonesia (BRI) di Jalan RA Kartini, yang dirombak menjadi bangunan modern; dan,

Kompleks Terminal Kota Gunung Sari, yang sekarang menjadi Mal Grage.

2. Gedung Candranaya

 

Jakarta

Perusakan. Pengharcuran bangunan Bangunan Bersejarah DKIJakarta –/–/2003 Negara –  PT Modern Kelompok IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) menolak penghancuran tersebut dan hasilnya Gedung Chandra Naya tidak jadi dibongkar dengan SK Gubernur DKI Jakarta.
3. Hotel Du Pavillon

 

Semarang

Bangunan Bersejarah Jawa Tengah 10/14/2004 Warga Semarang

 

Negara

–  Walikota Semarang Kota Semarang kehilangan satu lagi bangunan bersejarah. Hotel Du Pavillon atau yang sekarang disebut Hotel Dibya Puri dibongkar. Pada cukilan sejarah itu tertulis, bahwa hotel Du Pavillon dibangun tahun 1847. Hotel yang terdiri dari sekelompok bangunan yang saling berhubungan.
4. Gedung Mega Eltra

 

Medan

Bangunan Bersejarah Sumatera Utara 10/24/2004 Warga Medan –  Pemda Sumut.

 

–  Pihak swasta lain.

Gedung eks Bank Modern Mega Eltra di Jl. Ahmad Yani, Medan. Saat ini, rangka bagian dalamnya sudah mulai dihancurkan. Rencananya bangunan ini akan disulap menjadi sebuah rumah toko (ruko) bertingkat lima.
5. Harta Karun Kapal

 

Cirebon

Harta Karun Jawa Barat 01/18/2006 Negara –  Kapal MV Salvage SirenKingston (Belgia)

 

–  PT Paradigma Putera Sejahtera

Kapal telah ditangkap jajaran Mabes Besar Polri di perairan Marunda, Jakarta Utara, Kamis (18/1). Kapal MV Salvage Siren Kingston ini diketahui telah mengangkat benda berharga dari dasar laut di lepas pantai utara Cirebon, Jawa Barat. Mabes Polri juga tengah menginterogasi delapan anak buah kapal, termasuk nakhoda kapal tersebut.
6. Harta Karun Kapal

 

Harta Karun Kep. Riau 10/25/2002 Negara –  SV Kalpindo-I

 

–  PT BLK-Jakarta

–  PT Bintan Mandiri

Kapal Survay Vehicle (SV) Kalpindo – I berwarna biru dan puti dengan nakhoda Swingli Karel di tangkap dan di periksa kapal perang TNI Angkatan Laut di sekitar perairan karang Heleputan arah selatan dari Pulau Bintan ternyata tidak di lengkapi dokumen-dokumen untuk melaksanakan pengangkatan harta karun.
7. Kampung Arab

 

Palembang

Pemukiman Tua Sumatera Selatan 01/05/2006 Warga Kp. Arab.

 

Negara

–  Gubernur Sumsel

 

–  Walikota Palembang

Kuto Batu merupakan pemukiman tua yang masuk dalam daftar cagar budaya yang dilindungi di Provinsi Sumatera Selatan. Kampung ini akan digusur karena akan dilakukan pembangunan Jembatan Musi III oleh pemda Sumsel dan Pemkot Palembang untuk pengembangan sarana kota.
8. Situs Batu Tulis Situs bersejarah Jawa Barat –/–/2004 Negara –  Menag RI 2003

 

Sudah ada gugatan class action dari warga Bogor, namun gugatan tersebut ditolak oleh PN Bogor dengan alasan tidak representatif.
9. Sangiran Situs Prasejarah Jawa Tengah –/–/2004 Dunia

 

Negara

–  Bupati Sragen Situs Sangiran rencananya mau dijadikan sebagai lokasi pembuangan sampah bagi Kabupaten Sragen.
10. Lapangan GolfSemarang Tempat Bersejarah Jawa Tengah –/–/2003 Warga Semarang

 

Negara

–  Pemda Semarang Kehilangan lapangan golf tertua diIndonesia yang dibangun sejak tahun 1901.

 

Kehilangan resapan air.Komunitas Kaliwiru menolak dan unjuk rasa ke DPRD Semarang.

11. Pemalsuan Arca di Museum Radya Pustaka, Solo Arca Jawa tengah –/–/2007 Negara – K.R.H.Darmodipuro Lima arca yang dicuri, Agastya, Siwa Mahadewa, Mahakala dan 2 arca Durga Mahesa Sura Madini, per buahnya diperkirakan memiliki harga jual antara Rp80 juta hingga Rp200 juta, dan untuk mengelabuinya dilakukan pemalsuan arca.

 

Dalam kasus ini melibatkan dealer dan konsultan benda seni Hugo Kreijger yang disebut terlibat kuat dalam proses “jual-beli” sampai detik ini belum tertangkap Interpol dan baru Hasyim Djojohadikusumo yang merupakan pembeli arca yang dipanggil oleh Poltabes Surakarta.

Lambang Babar Purnomo selaku saksi ahli pada kasus itu ditemukan meninggal pada tanggal 9 Februari 2008.

12. Makodim Kab Serang Bangunan bersejarah Banten 08/15/2005 Negara –  Pemkab. Serang Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Serang telah menerbitkan izin prinsip dan surat izin mendirikan bangunan (IMB) untuk PT MMS.Surat izin itu diterbitkan setelah mendapatkan rekomendasi tim kajian yang dipimpin Zakariya Kasmin dari BP3 Serang dan beranggotakan di antaranya arkelog Ali Fadilah. Isi rekomendasi itu menyebutkan, nilai BCB pada gedung bekas Makodim hanya terdapat pada bangunan 100 m2, yaitu 6 pilar dan tiang bendera. Alasannya, bangunan yang lain sudah berkali-kali mengalami renovasi dan bahan bangunanya baru.
13. Gedung Sekolah Budya Wacana Bangunan bersejarah DI Jogjakarta 03/10/2008 Negara –  YPPN Budya Wacana Gedung Sekolah Budya Wacana dibongkar oleh pihak pengeloka yakni Yayasan Pendidikan dan PengajaranNasional (YPPN) Budya Wacana.
Tagged with:

Posted in sharing berita by Aralee Niken on November 17, 2009

Waspada Online 07 mei 2009

NGAWI – Suhud Jainudin (19) warga Desa Kersoharjo, Kecamatan Geneng, Kabupaten Ngawi, Jatim, menemukan ribuan keping uang kuno yang diduga merupakan benda sejarah.

Suhud, Rabu (6/5) mengatakan, ribuan keping uang kuno tersebut berukuran seperti uang receh Rp25,00 jaman dahulu, berbentuk bulat dengan lubang di bagian tengah. Selain itu, di empat bagian sisi keping terdapat tulisan huruf Cina.

“Jumlahnya mencapai ribuan keping. Saat ditemukan di dalam tanah, uang tersebut berada dalam guci. Karena sudah sangat tua, banyak keping yang sudah rusak dan tulisannya tidak jelas,” katanya mengungkapkan.

Menurut dia, ribuan keping uang kuno tersebut ditemukan berawal dari sebuah mimpi. Namun, pihaknya sempat tidak percaya. Akhirnya karena penasaran, ia dan dua orang temannya, Yuli dan Suyono, berusaha membuktikan mimpi tersebut.

“Benar saja, setelah dicari dengan cara mengali tanah di tepian sungai, akhirnya guci yang berisi ribuan keping uang kuno tersebut ditemukan. Lokasi penemuannya tepat di tepi Bengawan Madiun yang tidak jauh dari rumah saya,” kata putra kelima dari pasangan Ahmadi dan Sumari ini.

Lebih lanjut ia menjelaskan, karena terlalu lama di dalam tanah, dalam sekali angkat guci tempat ribuan keping uang kuno tersebut langsung pecah saat hendak diangkat. Kini ribuan keping uang kuno tersebut ia simpan di rumahnya dengan diwadahi karung.

“Sejak ditemukan hari Minggu lalu, banyak warga yang ke sini. Mereka penasaran dan ingin melihat langsung wujud uang kuno tersebut. Sebagian warga ada yang bilang uang kuno tersebut merupakan peninggalan Kerajaan Majapahit, namun ada juga yang bilang merupakan peninggalan kerajaan Cina,” katanya.

Suhud mengaku, belum tahu akan digunakan untuk apa ribuan keping uang kuno tersebut. Menurut dia, selama ini belum ada petugas dari Pemerintah Daerah Ngawi ataupun kolektor yang mendatanginya untuk melihat temuannya tersebut.

Sementara itu, Koordinator Museum Trinil Ngawi, dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Provinsi Jawa Timur, Endra Waluyo, mengatakan, belum dapat memberikan penjelasan banyak terkait temuan ribuan keping uang kuno ini.

“Terus terang kami belum dapat berkomentar banyak, apakah uang kuno tersebut termasuk benda cagar budaya atau tidak. Hal ini, karena tim kami belum menuju lokasi untuk melihat langsung keping uang kuno yang ditemukan,” katanya saat dikonfirmasi.

Menurut Endra, untuk menentukan sebuah benda termasuk dalam cagar budaya harus dilakukan penelitian terlebih dahulu. Kalaupun ternyata dinyatakan sebagai benda cagar budaya, nantinya juga masih harus dilakukan penelitian lebih lanjut lagi.

“Dengan kata lain, harus dilakukan penelitian cermat terlebih dahulu. Rencananya kami akan secepatnya mendatangi lokasi untuk mengeceknya,” katanya.

Sumber:

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&task=view&id=85769&Itemid=30

Posted in sharing berita by Aralee Niken on November 17, 2009

Bangunan Tua di Medan Nasibmu Kini…
Oleh Orin Basuki

KETIKA waktu menjadi begitu berarti pada setiap jamnya, proses penghancuran sebuah gedung bersejarah dan berusia ratusan tahun terasa begitu kritis. Apalagi ketika penghancuran tersebut berlangsung di tengah sebuah peradaban kota yang sebenarnya harus sudah sadar bahwa keberadaan sebuah gedung tua bersejarah itu juga telah ikut memperkuat karakter kota itu.

Saat ini, jam-jam yang terasa begitu berarti itu tengah berlangsung di Medan, Sumatera Utara. Pasalnya, sebuah gedung bernama Mega Eltra, yang berusia sekitar 113 tahun dan menyimpan pesan-pesan sejarah masa lalu yang kaya, tengah sekarat dalam gelombang penghancuran. Tidak sampai satu minggu, sebagian besar komponen gedung itu rata dengan tanah.

Gedung yang berdiri sejak masa kolonial Belanda itu terletak di Jalan Brigjen Katamso, Medan, atau beberapa puluh meter saja dari Istana Maimoon peninggalan Kerajaan Deli dulu. Secara historis, nilai bangunan Mega Eltra tersebut sungguh tidak tergantikan. Hal itu dimungkinkan sebab bangunan ini merupakan sebuah bukti kejayaan Kota Medan pada masa lalu dalam bidang perdagangan internasional.
Menurut catatan Dirk A Buiskool dan Tjeerd Koudenburg dalam Tour Through Historical Medan and Its Surrounding, pada tahun 1912 perusahaan Lindetevis Stovkis yang bergerak di bidang perdagangan internasional membuka cabangnya di Medan. Sebelumnya, perusahaan milik Van Der Linde dan Teves dan berpusat di Keizersgarcht, Amsterdam, itu telah membuka beberapa perwakilannya di kota-kota besar Indonesia lainnya, yakni Batavia (DKI Jakarta), Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Tegal. Sementara di Sumatera, selain di Medan, mereka juga telah membuka perwakilannya di Pematang Siantar sebagai konsekuensi usaha mereka yang semakin maju.

Sementara secara estetis, bangunan Mega Eltra tergolong unik sebab dibangun dengan memadukan arsitektur Eropa dan Tropis yang sangat dipengaruhi oleh gaya Art Deco tahun 1930-an. Kaca-kaca patrinya sangat indah dan sudah menjadi langka. Tidak hanya itu seluruh ornamen interior dan eksterior gedung tersebut seperti kap lampu di bagian luar masih asli.

AWAL Mei lalu, gedung berlantai dua tersebut masih berdiri megah meski sudah digerogoti pembongkaran pada beberapa bagiannya, tetapi kini yang tersisa hanya bagian depannya. Ketika mulai dibongkar pada 15 Mei 2002, bagian atap tengahnya mulai habis. Sementara bagian dalam dan belakang gedung tersebut sudah lebih dulu dihancurkan dan rata dengan tanah.

“Kami sudah meminta untuk tetap mempertahankan bagian fasade atau bagian muka gedung itu, karena jika ada sedikit saja bagian lama yang tersisa, setidaknya masih ada bagian-bagian peninggalan tua yang masih bisa dilihat,” kata Hasti Tarekat, Direktur Eksekutif Badan Warisan Sumatra (BWS).

Sebagai sebuah gedung bersejarah dan berusia ratusan tahun, bangunan Mega Eltra tersebut mempunyai semua persyaratan untuk masuk ke dalam Daftar Bangunan Bersejarah yang dilindungi di Kota Medan. Atau secara yuridisnya, bangunan ini memang layak untuk tetap berdiri sebab memenuhi semua hal yang disyaratkan oleh Peraturan Daerah (Perda) Nomor 6 Tahun 1988 mengenai Perlindungan Bangunan di Kota Medan serta Undang-Undang Cagar Budaya No 5/1992.

Dalam UU No 5/1992 secara eksplisit dikemukakan bahwa syarat sebuah Benda Cagar Budaya adalah baik secara keseluruhan maupun pada bagian-bagian yang tersisanya telah berumur minimal 50 tahun. Tidak hanya itu, apabila gaya yang dimiliki oleh benda itu ternyata khas dan langka serta bernilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan, maka benda itu juga dikategorikan sebagai Benda Cagar Budaya yang wajib dilindungi.

Akan tetapi, kata Hasti, akibat kelalaian pihak Pemerintah Kota Medan pada saat penyusunan Perda No 6/1988, bangunan Mega Eltra tersebut tidak masuk ke dalamnya. Padahal, sudah jelas, semua syarat yang tertera dalam aturan-aturan hukum tersebut dapat dipenuhi oleh bangunan tersebut.

SEBAGAI sebuah bangunan tua yang memiliki nilai historis dan estetis yang tinggi dan tengah menghadapi penghancuran total, bangunan Mega Eltra dianggap mewakili puluhan bangunan tua lainnya di kawasan Medan yang juga tidak dilindungi karena belum masuk ke Perda No 6/1988 itu.

Menurut catatan BWS, hingga kini masih terdapat 40 bangunan tua individu serta 15 bangunan tua berkelompok yang belum terlindungi karena belum masuk ke dalam Daftar Bangunan Bersejarah yang dilindungi di Kota Medan. Selain itu, bangunan-bangunan tua yang berdiri di tiga kawasan lainnya yang juga belum terlindungi, yakni bangunan-bangunan di Kawasan Polonia, Kota Lama Labuhan Deli, serta Kawasan Perumahan dan Pergudangan di Pulo Brayan.

Apabila penghancuran Mega Eltra itu tetap berlangsung, dikhawatirkan akan mengancam keberadaan gedung-gedung tua bersejarah lainnya yang masih berdiri. Akan timbul sikap permisif dari masyarakat untuk tetap membiarkan penghancuran-penghancuran bangunan tua lainnya itu.

“Jangankan bangunan yang belum didaftarkan dalam Perda No 6 itu, yang sudah terdaftar saja masih ada yang dihancurkan. Sebut saja Gedung South East Bank di Jalan Pemuda, Kantor Bupati Deli Serdang di Jalan Katamso, atau Kantor PU Medan di Jalan Listrik. Ketiganya sudah termasuk dalam Daftar Bangunan Bersejarah yang harus dilindungi, tapi kenyataannya tetap saja dibongkar,” ujar Hasti.

Oleh karena itu, aliansi lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dimotori oleh BWS berusaha membendung gelombang penghancuran terhadap gedung-gedung tua tersebut dengan melakukan aksi damai di Kantor DPRD Kota Medan. Aksi itu merupakan langkah lanjut dari upaya diplomasi yang telah dilakukan sebelumnya dengan mengirim surat kepada Wali Kota Medan dan pemilik gedung itu sendiri. Akan tetapi, upaya diplomasi saja tidak cukup sebab ternyata tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

“Kami mendukung usaha pemanfaatan bangunan lama untuk fungsi baru, tapi tanpa menghancurkan atau mengubah bangunan itu. Apalagi bangunan itu memiliki nilai historis dan estetis yang tinggi,” ujar Hasti.

Hasti menegaskan, intensitas penghancuran gedung-gedung bersejarah tersebut dalam beberapa waktu terakhir ini makin tinggi. Setiap tahun, selalu saja ada bangunan tua yang dihancurkan sehingga pembongkaran bangunan Mega Eltra itu sendiri bukan yang pertama.

“Jika penghancuran itu kita biarkan, maka akan menjadi suatu kecenderungan yang buruk di masa depan. Akan ada sikap yang membenarkan terhadap penghancuran bangunan-bangunan bersejarah tersebut,” ujar Hasti.

Upaya yang dilakukan pihaknya adalah memberikan masukan-masukan kepada Pemerintah Kota Medan mengenai visi mereka terhadap bangunan-bangunan tua tersebut. Selanjutnya adalah menyelamatkan bagian-bagian yang masih bisa diselamatkan dari bangunan Mega Eltra.

“Kita bisa membuatnya sebagai monumen bagi Kota Medan tentang warisan sejarah maupun untuk kepentingan pendidikan. Langkah ketiga adalah meningkatkan edukasi masyarakat agar warga Kota Medan mempunyai kesadaran serta mengerti arti penting pelestarian warisan sejarah tersebut,” kata Hasti

Hal senada juga diungkapkan Ketua Umum Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sumut Taviv Kurniadi Mustafa. Dia mengatakan, pada dasarnya setiap bangunan itu merupakan warisan dari para arsitek dulu. Selain itu, keberadaan bangunan tua juga memberikan sumbangan yang besar terhadap kebudayaan kota tempat bangunan tersebut berdiri. Atas dasar tersebut, maka setiap arsitek yang profesional harus selalu memperhatikan kondisi bangunan yang akan mereka rancang.

“Seperti Mega Eltra, misalnya, ia termasuk bangunan tua yang megah dan mewakili keberadaan kota lama Medan, terutama sebagai pusat perdagangan. Arsitek seharusnya mampu memberikan masukan kepada pemilik bangunan bahwa keberadaan bangunan tua tersebut merupakan sebuah aset bukan sesuatu yang mengganggu sehingga harus dimusnahkan,” ujar Taviv.

Taviv mengatakan, meskipun tidak bisa dipertahankan hingga 100 persen, setidaknya harus disisakan beberapa bagian aslinya yang mewakili gaya arsitektur bangunan itu untuk dipertahankan. Jika memang akan dibangun bangunan yang baru, biarkan bagian yang lama itu diintegrasikan dengan bangunan baru tersebut.
“Itu bukan semata-mata untuk mempertahankan nilai sejarahnya saja, akan tetapi akan mampu membentuk nilai estetika yang baru. Dengan demikian, kepentingan sejarah dan estetika tidak akan mengganggu kepentingan pemilik bangunan yang ingin membuat bangunan tersebut menghasilkan secara ekonomi. Dengan demikian, masyarakat umum pun tidak perlu merasa kehilangan dengan bangunan bersejarah mereka,” ujar Taviv. (m02)

Sumber: Kompas, Rabu, 10 Juli 2002